Bagaimana Sebaiknya Mengamalkan Hadis Amar Makruf Nahi Munkar?

Kita tentu sering mendengar kalimat "amar makruf nahi mungkar." Banyak orang berbuat anarkis dengan dalih "mencegah kemungkaran." Kata mungkar dalam bahasa arab artinya sesuatu yang tidak dibenarkan hati, tidak diakui oleh lisan.
Sebuah hadis yang cukup populer dalam hal mencegah kemungkaran, diriwayatkan oleh Imam Muslim :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَان

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah keduanya dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dan ini adalah hadits Abu Bakar, "Orang pertama yang berkhutbah pada Hari Raya sebelum shalat Hari Raya didirikan ialah Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, "Shalat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah." Marwan menjawab, "Sungguh, apa yang ada dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan." Kemudian Abu Said berkata, "Sungguh, orang ini telah memutuskan (melakukan) sebagaimana yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman."

Hadis ini sering dijadikan legitimasi untuk main hakim sendiri. Akibatnya, terjadi kekacauan, perbuatan anarkis yang dilakukan tidak sesuai prosedur yang benar.
Perlu diperhatikan bahwa kata tangan pada kalimat mencegah dengan tangannya tidak mesti bermakna denotasi tangan manusia secara fisik. Demikian juga dengan lisan, tidak mesti bermakna lisan secara fisik. Sebagaimana dalam al-Qur'an kata 'tangan Allah' tidak bisa dimaknai tangan fisik.

Pemaknaan tangan, lisan, dan hati

Mencegah kemungkaran adalah satu pekerjaan yang wajib namun tidak bisa sembarangan dilakukan. Mencegah kemungkaran dengan "tangan" lebih tepat dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas atau kekuasaan. Mencegah kemungkaran apabila dilakukan oleh yang memiliki otoritas tentu lebih efektif dan tidak membahayakan keselamatan pencegahnya. Ada juga yang memaknai dengan "memberi contoh yang baik."

Mencegah dengan lisan, lebih tepat jika dilakukan oleh mereka yang dipercaya dan diyakini ucapannya oleh kalangan luas seperti ulama, kiai, akademisi, dan sebagainya. Tentu saja hal ini disertai argumentasi yang meyakinkan sehingga yang berbuat kemungkaran tidak mengulangi lagi perbuatannya. Perintah dengan lisan, tidak hanya berupa ucapan, termasuk juga dalam hal ini adalah dengan tulisan atau karya ilmiah.

Mencegah dengan hati, atau dengan kata lain artinya adalah mengingkari perbuatan itu, perintah ini berlaku umum baik kepada yang memiliki otoritas maupun tidak. Yang ketiga ini memiliki dampak yang paling sempit, minimal kepada diri sendiri dan paling tidak bagi keluarganya sendiri. Ini yang dimaksud selemah-lemahnya iman.


Kesimpulan

Jika kita ingin mencegah kemungkaran dalam sebuah lingkungan sosial, karena ini adalah perintah agama, maka hal pertama yang mesti diperhatikan adalah posisi kita dalam struktur sosial di sana. Apakah kita termasuk golongan yang bisa mencegahnya dengan tangan, lisan, atau hati. Jika kita adalah pemilik otoritas dan memiliki legitimasi, gunakan tangan. Jika anda kita seorang akademisi, ulama, ustadz, kiai, motivator, penasehat, dan sejenisnya, maka gunakan lisan. Tetapi jika kita tidak memiliki otoritas juga bukan orang yang memiliki keahlian secara intelektual, gunakan hati. Kalaupun mau yang lebih, gunakan tangan dalam arti memberi contoh yang baik.

Comments

Popular Posts